Follow Us @curhatdecom

Thursday, October 24, 2019

Berdamai Dengan Keguguran Bagian 2

9:00:00 AM 1 Comments

Mereka Lahir Menggemaskan


Tidak lama setelah teman-teman suami pulang (sekitar jam 1an) gue bilang ke suami sakitnya semakin menjadi-jadi. Rasanya beda, tapi suami menenangkan bilang itu Cuma sugesti. Gue minta panggilkan suster tapi suami menolak, buat apa katanya. Karena dia sudah beberapa kali panggil suster gak di apa-apain Cuma dibilang suruh sabar.

Oke baiklah mungkin gue hanya sugesti. Mungkin gue hanya pingin ke kamar mandi buat pup. Oke gue minta bantu di papah ke kamar mandi (kondisi semakin lemah soalnya). Pas duduk di kloset gue merasa ada yang mendorong keluar bukan dari dubur tapi dari vagina. Akhirnya setengah berteriak gue suruh suami panggil suster segera.

Begitu suster sampai gue diomelin karena bukannya istirahat malah jalan-jalan (Hei! Biar cepet bukaan Tau!). Gue bilang ada yang mau keluar, dijawab “belum bu bukaan masih separuh”. Gue di paksa rebahan kembali. Ya Allah jangankan rebahan, baru nempelin bokong di bibir ranjang aja udah kayak duduk di atas duri-duri tajam. Akhirnya dipaksakan naik ranjang di bantu dua suster. Tapi dorongan yang gue rasakan semakin kuat. Antara marah dan putus asa gue jerit “Ini ada Yang mau Keluaaaaar!” barangkali kalau gue jerit mereka mau mendengarkan.

Akhirnya karena ramai (entah gimana pasien sebelah mendengarkan) suster-suster lainnya berdatangan membantu. Akhirnya mereka sepakat membawa gue ke ruang bersalin, mereka mempersiapkan gue dengan segera. Tapi waktu itu akhirnya “SPLASH” ketuban gue pecah saat beberapa suster sedang merapihkan selimut mau dipakaikan ke gue. Beberapa suster menjerit “Yaaaaaah” karena kecipratan. Di depan gue ada jam, gue lihat waktu itu jam satu atau dua kurang gitu.

Segeralah ranjang gue didorong ke ruang bersalin. Saat itu gue mulai merasakan dorongan lagi. Kali ini masa bodo dengan aba-aba para suster itu. Gue pakai aba-aba sendiri aja. Sebel di suruh tahan-tahan terus. Pada saat mau di angkat ke ranjang bersalin satu bayi gue lahir.

Pelan-pelan gue di angkat ke ranjang bersalin, juga dengan bayi pertama. Di ranjang bersalin tidak lama kemudian bayi yang kedua juga mendorong keluar dan lahir. Baru kemudian di susul placentanya.

Baca Juga : Berdamai Dengan Keguguran Bagian 1

Apa yang gue rasakan setelahnya adalah lega yang luar biasa. Sesaat gue bengong karena ada energi besar yang baru saja terlepas. Tapi gue masih bisa merasakan suster-suster yang sibuk membersihkan sisa darah. Mendengar gerutuan mereka saat membersihkan lantai yang kotor (hei masih ada pasien loh ini. Jangan sampai gue tulis di form keluhan konsumen ya). Mendengar printah suster ke suami untuk membawakan baju ganti (setelah bersalin pakai baju sendiri). Mendengar suster komplain ke suami karena saat diminta pembalut malah ngasih pempers dewasa (kami preparenya memang itu. Lebih praktis dan gampang dipakai). Katanya pampers dewasa gak higienis (Ya kali masa gue bakal pakai itu seharian, gak sampai sejam juga paling ganti. Dan bener aja pakai pembalut melahirkan yang lebar banget itu sampai ruang rawat gak lama bocor mengotori seprei. Dan mba suster lagi-lagi kesel). Padahal waktu lahiran di Banjarmasin gue langsung di pakaikan pampers dewasa.

Tidak lama setelah bayi-bayi itu lahir sebetulnya gue sempat mendengar percakapan para suster (mungkin juga basic mereka bidan) yang menyimpulkan apa yang dialami si kembar. Salah satu bayi lehernya terlilit tali pusar. Sementara sisa tali melilit tali pusar saudaranya sehingga mirip seperti tali tambang yang terpintal. Jadi kemungkinan besar inilah yang menyebabkan keduanya meninggal. Terlebih mereka satu plasenta. Kembar Identik.

Setelah berganti pakaian (masih di ranjang bersalin) gue memaksa melihat kedua bayi gue. Suster sempat melarang habis lahiran takut ibunya masih lemes. Tapi entah bagaimana gue sangat segar setelah itu. Dan itulah saat pertama dan terakhir gue melihat si kembar. Bentuknya yang belum sempurna membuat mereka sulit untuk digendong, dipeluk dan dicium.





Keduanya perempuan, besarnya tampak berbeda. Tapi memang sesuai hasil USG, beda sekitar 100 gram. Yang satu kalau gak salah 440 gram, yang satu 510 gram. Yang terlilit leher sepertinya bayi yang lebih kecil. Setelah itu keduanya di kafani dan suami mengurus dokumen dan pemakamannya. Sementara gue kembali ke ruang opname.


Introspeksi Diri Lewat Umi


Apa yang gue lakukan setelah melahirkan? Kalau katanya gue disuruh tidur, istirahat. Gue gak bisa tidur sama sekali. Suami pergi memakamkan si kembar. Bapak dan mama mertua juga ikut. Si kembar di makamkan di Munjul dekat dengan rumah orangtua gue. Selain scrolling medsos, membaca wa-wa yang masuk (tapi tidak membalas) muncullah Umi. Orangtua dari sahabat gue semasa SMP. Rumahnya memang tidak jauh, beliau datang mewakili teman gue yang merantau di Kalsel.

Entah bagaimana, bersama Umi mengalir begitu saja apa yang sedang gue alami, apa yang gue pikirkan, dan apa yang gue rasakan.

Baca Juga : Berdamai Dengan Luka

Bersama beliau gue sempat mengutarakan kalau punya anak sebetulnya capek. Makanya pengen punya anak deket-deketan. Target 3 aja, biarin deh kecilnya bareng. Gedenya bareng. Mereka masuk sekolah emaknya bisa eksplorasi diri dengan berbagai kegiatan diluar rumah. Jadi rencananya setelah lahiran si kembar mau “tutup pabrik”. Fokus dengan 3 anak saja.

Sempat juga terpikirkan selama hamil si kembar ini banyak hal yang gue risaukan dan justru membuat gue seperti “GAK PUNYA TUHAN”. Gue mulai berhitung dengan cost nya, popok yang dua kali lipat. Belum lagi susu Gaza yang sebulan bisa 1,5jt sendiri. Gaza juga masih pakai popok. Trus makannya, trus perlengkapannya dsb. Hei gue lupa gue punya Allah! Gue lupa Allah sudah menyiapkan rezeki untuk setiap jiwa! Gue lupa untuk bersyukur!

Umi juga mengingatkan, bahwa gak seharusnya gue membatasi jumlah anak. Ber-KB boleh untuk memberi jarak anak, bukan membatasi jumlahnya. Itu namanya melawan takdir Allah. Astagfirullah...

Setelah Umi pulang rasanya seperti ada beban yang lepas begitu aja dari pikiran dan hati gue. Nasi yang tadinya males gue sentuh, akhirnya dengan lahap gue makan. Teman SMP lainnya (waktu SMP kita emang se-Genk dulu) berikutnya datang. Membawa Ayam goreng suharti satu ekor utuh (Sungguh ini adalah bawaan saat jenguk orang sakit yang gak biasa, gue sampai suami berkesan banget). Malah bela-belain balik lagi ke atas setelah pamit Cuma gara-gara bawain milo dingin karina gue cerita kepingin dan nungguin suami hihihi.
Sama temen gue itu gue masih bisa ketawa-ketawa karena emang bener-bener lega setelah curhat sama Umi. Semua ada hikmahnya... dan tentunya ada alasan Allah mengirim dan mengambil lagi si kembar. Salah satunya mungkin untuk memberikan gue pelajaran agar tidak jadi “atheis” alias gak percaya Tuhan.

Saat musibah terjadi rasanya pasti sangat berat. Tapi disuatu hari bisa kita kenang dan baru kelihatan hikmahnya. Saat ini gue sedang mengeja satu persatu hikmah dari Allah atas kepergian si kembar.


Setelah semua itu... 

Satu hal yang paling gue syukuri saat semua ini terjadi adalah punya suami yang suport. Suami adalah garda terdepan seorang istri untuk bisa menjadi wanita kuat. 

Selama ini gue berusaha menyibukkan diri dengan banyak hal. Paling banyak sih sibuk dengan urusan pindah rumah dan mengurus Gazaro. Banyak menghabiskan waktu di dapur buat nyoba resep ini itu. Bahkan open order mochi juga bagian dari usaha menyibukkan diri. 

Setiap orang punya cara sendiri untuk bertahan, ataupun melewati segala ujian. Dan gue kadang suka kembali down saat ada yang bilang "urusin Gaza tuh jangan mochi mulu, kurus banget anak lo!"

Ayo laaaah... Biarkan gue bahagia. Ibu yang hatinya bahagia akan bisa membahagiakan anggota keluarga nya.  Jangan sampai statment kita membuat ibu menjadi monster bagi keluarganya.  Saking lelahnya mendengar bacotan orang ibu bisa stress dan melampiaskan ke anak-anak dan suaminya. 

Kalau kalian melihat orang yang pernah kehilangan sedang melow berlebihan bisa jadi ada beban yang belum lepas sehingga dia butuh bantuan. Atau bisa juga memang dia hanya rindu. Coba deh dengerin lagu yang Andmesh-Hanya Rindu.

Insyaallah... saat ini gue sudah ikhlas dan menerima kenyataan. Tapi memang yang berat dari proses ini adalah RINDU. Dan mengikhlaskan bagi gue lebih mudah daripada Rindu. Tapi setiap orang punya proses nya masing-masing. Butuh spare waktu yang berbeda satu dengan yang lain. Punya cobaan hidup yang tak sama satu dengan yang lain. Bisa jadi musibah orang satu dengan lainnya mirip, tapi dengan latar belakang pendidikan, lingkungan dan situasi yang membersamainya musibah itu bisa jadi terasa tidak sama satu dengan yang lainnya.

Jadi bisa jadi cobaan yang kalian hadapi tidak lebih mudah terasa jika gue yang merasakan. Begitupun sebaliknya. Dan mohon maaf jika dalam tulisan ini ada orang-orang yang merasa, semoga bisa jadi bahan introspeksi bersama. Empati itu gak susah, tapi perlu dilatih. Dan tolonglah, gue sendiri sudah merasa bersalah. Jadi gak perlu menambahkan dengan menyalahkan gue yang pecicilan saat hamil (hamil ketiga ini boro-boro pecicilan, kejadian terjadi malah pada moment gue kalem sekalem-kalemnya), tahanlah diri untuk bertanya karena kepo (kalau peduli dan empati pasti gak kepo tapi mendoakan).

Gue sama sekali gak menyalahkan kalian, jadi please jangan gosipin (gue bukan artis gak usah di bahas lambe_mu) dengan bikin praduga-praduga sambil nyalah-nyalahin gue ya.

Terima kasih yang sudah wa menghibur, mendoakan dalam diam, lewat wa maupun komen di postingan-postingan sosmed gue. Doa yang baik-baik semoga kembali ke kalian.

Buat teman-teman yang sedang berjuang punya anak, yang pernah mengalami keguguran juga atau yang sekedar pernah melihat orang sekitar mengalami hal serupa. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Masyaallah... lega sekali setelah menuliskan ini. Kadang emosi marah dan air mata kembali terpanggil. Tapi rupanya karena mereka selama ini di anggap tak ada. Baru ketahuan ada setelah di tuliskan...

Thursday, October 17, 2019

Berdamai Dengan Keguguran Bagian 1

9:00:00 AM 11 Comments
Catatan: Karena kepanjangan akhirnya tulisan ini di bagi menjadi 2 bagian supaya nyaman bacanya. Budayakan membaca secara utuh tidak sepotong apalagi lompat-lompat kemudian menyimpulkan sendiri tanpa info utuh.

Beberapa waktu lalu timeline instagram gue diramaikan oleh berita meninggalnya anak kembar dari artis terkenal. Gak perlu disebutkan lah ya, pasti teman-teman tahu. 

Mungkin sebagian orang yang mengikuti berita tersebut sekedar ber-“Ooo” atau ada yang turut mendoakan. Tapi buat gue pribadi, menyimak berita tersebut seperti flashback beberapa bulan lalu, saat kembar kami (gue dan suami) juga turut kembali kepada Pemilik-Nya. Sore hari saat gue mengabari suami tentang berita artis tersebut, suami hanya kirim emoticon nyengir dan kalimat “Abang sudah tahu”.

Kayaknya suami emang sengaja gak mengabarkan, khawatir isterinya yang baperan ini kumat bapernya. Dan bener sih...

***

Bukan lantaran berita artis itu akhirnya gue menuliskan ini. Tulisan ini sudah lama banget mau gue tulis. Menulis adalah salah satu cara gue Self-healing, seperti halnya saat gue menuliskan tulisan saat Arsa Umar Syahid Elqossam kembali ke Pemilik-Nya.


Saat menulis ada banyak hal dialam bawah sadar yang akhirnya keluar. Dan salah satu cara kita bisa move-on adalah dengan mengetahui apa yang kita rasakan, kemudian menerimanya. Dan kadang cara me-recall luka itu adalah dengan menulis.

Alhamdulillah... saat ini gue sudah sepenuhnya move-on. Hanya saja barangkali apa yang menjadi cara maupun pikirkan tentang Berdamai Dengan Keguguran bisa bermanfaat untuk teman-teman yang juga mengalami ataupun belum (jangan sampai).

HARI ITU...

Saat memasuki bulan ramadhan 2019, gue dan suami sudah sepakat kita akan mudik ke Yogyakarta (tempat orangtua suami berada). Kami sepakati akan menggunakan kendaraan pribadi, karena gue sedang hamil trimester dua dan barang bawaan kami banyak. Semula rencana kami berangkat H-3 sesuai jadwal cuti bersama.

Tapi rupanya suami ada dinas ke Solo sebelum lebaran. Akhirnya kami putuskan sekalian mudik duluan di tanggal 26 Mei 2019 hari minggu pagi. Selain lalu lintas belum terlalu ramai, sekalian suami pergi dinas (selesai dinas suami pulang ke Jakarta dan baru menyusul H-3).



Sebetulnya minggu-minggu jelang hari raya, adalah waktu untuk gue priksa kandungan. Tapi kata suami sekalian aja di Jogja. Ada rumah sakit sekaligus dokter yang direkomendasikan teman. Setelah mendaftar menyesuaikan kedatangan suami, dipilihlah tanggal 31 Mei 2019 hari Jumat. Saat priksa semua baik-baik aja, Janin sehat dan sebagai catatan gue gak puasa. Karena sejak bulan ke 3 ketahuan kalau ternyata gue hamil gemeli / kembar.


Selama di Jogja sebetulnya gue hampir lebih sering di rumah. Padahal mupeng dengan info-info tempat wisata baru dan aneka kuliner Jogja. Tapi memang hamil kembar ternyata bener-bener menguras energi. Yang gue rasakan adalah lemes yang lebih-lebih dari kehamilan pertama dan kedua. Waktu cek ke dokter sempet konsultasi juga, “Dok, saya lemes banget dan maunya tidur terus karena capek. Ini karena hamil kembar, karena faktor usia (gue udah 30 tahun), atau karena saya hamil dengan kondisi masih memiliki balita?” Kalau pilihan ganda pasti Bu Dokter jawab yang D. Semua Benar. Karena memang beliau jawab “ya Karena ketiga faktor tersebut bu”. Baiklah...

Tapi kemudian pada saat malam takbiran, saat pillow talk gue bilang ke suami. “Kok beberapa hari ini bundaro gak ngerasain gerakan dedek kembar ya?” Suami yang sudah mendampingi dua kehamilan sebelumnya dengan santai hanya bilang “Mungkin dedek aktif pas bundaro bobo. Jadi bundaro gak ngeh. Nanti aja di Jakarta, pulang dari sini kita periksa. Sekalian cek kesehatan bundaro setelah perjalanan arus balik”. Gue mengiyakan karena dua kehamilan sebelumnya memang gue gak terlalu merasakan gerakan bayi karena emang perutnya tebel. Umaro maupun Gazaro baru terasa saat trimester akhir. Si kembar terasa gerakannya sejak awal trimester dua karena memang mereka kan ada dua, jadi bisa lebih terasa.

Lebaran tiba, kesibukkan hari raya membuat gue lupa keluhan yang gue sampaikan ke suami. Perjalanan pulang ke Jakarta, Bapak Mertua mengajak seluruh anak, mantu dan cucunya berlibur ke Purwokerto sekalian perjalanan pulang. Gue bersenang-senang saat itu. Entah kenapa gak terasa secapek sebelumnya. Gue anggap karena gue terlalu happy. Dan yang agak surprise juga adalah pas lebaran berat badan gue naik drastis. Padahal biasanya masih sama meski makan banyak karena semua diserap bayi.

Sampai di Depok tanggal 8 Juni 2019. Kami putuskan mencoba priksa di rumah sakit dekat rumah mama. Salah satu plan kami adalah jika dirawat dekat dengan mama, kami mudah menitipkan Gaza ketimbang di Depok.
Saat pemeriksaan tiba... Gue mulai berbaring di ranjang untuk di USG. Gak biasanya Gaza yang santai, saat itu menatap gue sendu. Gue masih ingat betul gue sampai bilang “Gaza kok lihatin Bunda kayak gitu sih?” Dan mulailah dokter memeriksa kandungan gue. Saat itu ekspresi dokter yang ramah itu berubah khawatir. Gue pun semakin gak enak perasaan. Dan benar, ternyata dokter memberi tahu kalau ternyata si kembar sudah tidak ada. Bukan salah satunya, tapi keduanya.

Mungkin bagi pecinta sinetron kalimat yang dokter sampaikan sudah bisa diprediksi seperti apa. Tapi siapa sangka, kalimat yang dianggap biasa itu saat kita yang mengalaminya rasanya tidak lagi biasa. Gak pakai dijelaskan dua kali, gue sudah tahu apa yang terjadi. Dan tangis itupun pecah. Rasanya kayak apa? Rasanya kayak ‘Jahat Banget Sih Hidup ini ke Gue. Gak cukup anak gue satu meninggal. Sekarang kehidupan kembar gue juga di ambil’.

Karena melihat Bundaro menangis histeris, Gaza juga ikut menangis dan pengen dipeluk gue. Tapi kondisi karena masih diperiksa gak memungkinkan. Melihat Gazaro menangis gue akhirnya coba menenangkan diri, tidak sehisteris sebelumnya. Sepertinya nama Gaza yang gue sematkan sebagai pengingat untuk selalu kuat seperti wanita-wanita, menjadi doa yang terijabah. Gue harus kuat demi Gazaro.

Prediksi dokter janin sudah meninggal 3-5 hari. Tepat saat gue mengeluhkan gerakan bayi ke suami.

Suami mencoba mencari sebab “keguguran” (istilah ini yang gue pakai, tapi umumnya orang bilang keguguran jika kondisinya pendarahan dsb) yang gue alami. Apakah karena kecapekan mudik? Tapi kalau kecapekan gue mengeluhkan gerakan bayi saat 3 hari sebelumnya cek kandungan dan semuanya oke.

Tapi kata dokternya dengan bijak bilang, “Kehamilan kembar itu penuh resiko pak. Kehamilan sendiri merupakan resiko di tambah kembar berarti resikonya menjadi dua kali lipat tiga kali lipat dst. Ini bisa terjadi juga karena adanya kelainan pada janin. Saat ini kita fokus saja untuk mengeluarkan bayinya, karena bagaimanapun keduanya sudah tidak ada kehidupan dan proses pembusukan terus terjadi. Kalau tidak segera dikeluarkan sangat berbahaya untuk ibunya.”

Melahirkan dini? Sejak hamil kembar suami semakin sering mencari artikel tentang kehamilan kembar. Resiko-resiko yang ada, nutrisi, dan info-info lainnya (gue sempet sebel karena bukannya menikmati kehamilan gue malah khawatir ini itu. Akhirnya suami stop menyampaikan info-info yang bikin baper). Salah satu yang dibacanya adalah premature atau melahirkan dini. Tapi kami tidak pernah menyangka yang akan kami lahirkan tak lagi memiliki kehidupan.

Sempat mengira dokter akan menyarankan Secar, tapi ternyata tidak. Kata dokter untuk sementara mencoba normal dengan bantuan induksi. Tidak di kuret karena bayi 6 bulan sudah berbentuk, dan kalau di lakukan kuret nantinya jasad bayi tidak utuh. Malam itu juga diputuskan opname. Keluarga besar diberi tahu. Keluarga gue langsung datang dan malam itu juga Gazaro dibawa ke rumah Munjul.


Hancur Di Tengah Rasa Sakit


Dulu gue pikir keguguran itu “sepele”. Maksudnya adalah ketika seseorang keguguran sedihnya tidaklah sama seperti orang yang kehilangan anak yang sudah dilahirkan. Kalian tahu? Rasa sakitnya sama ternyata. Bagaimanapun yang pergi itu jiwa-jiwa yang dinantikan...

Bahkan bagi mereka yang merindukan kehadiran anak, ketika si tamu bulanan datang rasaya mungkin juga membuat perasaan hancur. Jadi please jangan bodoh seperti gue dulu. Cukup gue yang menganggap “sepele” kalian jangan. Saat itu yang gue lakukan adalah membuat status WA tersirat untuk meluapkan rasa hancur yang gue rasakan.

Dari sekian wa yang masuk (dan gue abaikan karena gue belum siap jawab pertanyaan sederhana mereka “kenapa?”) ada satu wa yang bikin gue kembali menjerit tertahan (alhamdulillah masih sadar diri lagi di tempat umum a.k.a. rumah sakit) adalah pesan yang tanpa salam tanpa basa basi langsung to the point “Keguguran ya Pit”. Entah si penulisnya menulis dengan maksud disampaikan dengan kalimat yang lemah atau disampaikan dengan sinis ala pemeran antagonis di sinetron tapi bagi gue itu menyakitkan.

Dan gue juga marah sejadi-jadinya saat ada yang wa minta izin mau jenguk sekalian ambil tas jastipan (waktu di Jogja gue sempet buka jastip tas Dowa). Yakali! Gue aja gak sempet bawa baju ganti, anak gue nginep pun juga pakai baju-baju kakak sepupunya yang kebanyakan warna dan gambarnya feminin. Mana sempet pula gue bawain tas jastipan! Gue dirumah sakit mau opname dengan musibah, bukan mau buka lapak.

Baca Juga : Berdamai Dengan Luka

Berhati-hatilah saat mencoba menanyakan kabar sensitif kepada orang lain terlebih lewat chat. Karena kita tidak pernah tahu akan dibaca dengan intonasi seperti apa. Dan gue salut dengan salah seorang mba Owner yang langganan gue endorse, setelah beberapa bulan beliau baru berani bahas soal keguguran gue (itupun karena gue yang buka duluan soal keguguran). Minta maaf karena tidak wa langsung, tapi gak lupa mendoakan. Katanya dia takut salah memilih kata-kata yang malah melukai. Masyaallah... sebaik-baiknya kata adalah doa. Dan dia melakukan itu untuk gue...

Kamar yang gue tempati kelas satu yang terdiri dari 2 ranjang rawat. Gue selalu berharap disebelah gue tetep kosong supaya suami bisa tidur disitu, dan supaya gue bisa menangis sepuasnya tanpa sungkan, karena saat ini gue membutuhkan itu.

Sejak infus dipasang, obat perangsang (induksi) sudah mulai diberikan bertahap. Bagi yang pernah di induksi pasti tahu rasanya seperti apa di induksi. Sakitnya luar biasa, melebihi melahirkan normal tanpa induksi. Tapi yang bikin hancur perasaan tentunya karena si kembar sudah tidak bernyawa. Orang-orang menahan sakit di induksi karena mau melahirkan bayi lucu. Gue menahan sakitnya induksi tapi yang di lahirkan sudah menjadi mayat.

Hancurnya perasaan gue belum cukup sampai disana. Walau dengan berbagai pikiran campur aduk termasuk flashback saat Umaro meninggal, ternyata gue begitu merindukan Gazaro. Hati gue semakin tercabik-cabik saat gue gak boleh ketemu Gaza. Okelah gak boleh dibawa kerumah sakit gak papa gue masih terima, kasihan kan anak kecil dibawa ke rumah sakit. Tapi bahkan gue gak boleh video call sama anak itu. Kata mereka “Lo gak kasihan apa sama kita yang susah payah nenangin dia karena gak ada emaknya. Susah tahu!”  Rasanya gue mau teriak “Lo gak kasihan sama gue ibunya yang kangen, dan butuh suport saat ini?!” Kok bisa-bisanya mereka gak mikirin kondisi mental gue.

Belum lagi terus-terusan mengeluh karena menjaga Gaza, nyuruh gue cepet-cepet keluar rumah sakit. Astagfirullah... rasanya gue benci berada di lingkaran (keluarga) ini. Dulu gak peduli gue lagi sibuk atau gak (waktu masih single, gue sering dirumah dan kerjaan dikerjakan dirumah) karena rumah yang dekat gue selalu disuruh jagain keponakan sementara ibunya belanja berjam-jam. Sekarang gak bolehkah gue meminta bantuan yang serupa bahkan dalam kondisi mendesak seperti ini?


Karena perasaan marah ini akhirnya gue melawan kesedihan dengan terus bergerak. Pakai gymball jalan di lorong, naik turun tangga dsb untuk mempercepat pembukaan. Gue mau ketemu anak gue! Gue mau semua ini cepet selesai!


Tapi semangat gue kembali jatuh, dikarenakan ada ibu hamil yang opname mengisi ruang disamping gue. Ibu dengan tekanan darah tinggi terpaksa di opname untuk observasi. Bukan sekedar bertemu dengan ibu hamil (melihat ibu hamil, bahkan melihat postingan teman yang hamil bareng dengan gue sampai saat ini masih membuat gue baper) tapi karena sesekali suster datang untuk mendengar detak jantung bayi. Gue iri! Marah! Kenapa gue gak bisa denger detak jantung bayi gue lagi!

Dan karena bangsal untuk ibu melahirkan khusus, hampir setiap saat gue mendengarkan suara tangisan bayi baru lahir.
Semangat gue juga dibuat up and down oleh suster-suster jaga. Gue tipe yang tidak suka di iming-imingi. Suka dengan sesuatu yang pasti. Artinya tidak abu-abu.

Setiap gue tanya, suster ini sampai bukaan berapa? Ada yang bilang “belum pasti bu, tapi ini kan bayinya masih kecil, gak harus sampai bukaan lengkap kok”. Setiap nambah bukaan gue semangat, tapi memang lambat sekali nambahnya. Sudah hampir bukaan 5 gue semangat karena mungkin gak lama lagi bisa lahiran. Tapi suster yang lain lagi dengan jutek bilang “Ya sampai bukaan lengkap bu”. Rasanya tuh kayak melakukan perjalanan katanya udah mau sampai ternyata setengahnya juga belum.

Tiba di hari ke 4 (Rabu 12 Juni 2019) opname, gue semakin jenuh di rumah sakit. Semakin sakit mendengar tawa canda pasien sebelah, mendengar detak jantung bayinya, ditambah ac ruangan yang dingin menggigit gak boleh dikecilkan gue pun semakin sering ngajak suami jalan-jalan di lorong dengan kondisi yang semakin sakit dan semakin lemas kelelahan. Saat sedang mondar-mandir di lorong itulah teman-teman kantor suami datang menjenguk. Lumayan banyak jumlahnya, dan sebagian besar laki-laki. Sebetulnya karena itu juga sampai sekarang gue agak malu ketemu teman-teman suami terutama laki-laki, pasalnya mereka melihat gue dalam keadaan pakai piyama rumah sakit (sebagian aurat terbuka), terinfus, menahan sakit plus mondar mandir sambil kesakitan. Bagi sebagian wanita, ibaratnya itu adalah kondisi lagi jelek-jeleknya dan gak sedap di pandang mata. Tapi mau bagaimana lagi...

Bersambung ke Bagian 2