Follow Us @curhatdecom

Friday, March 29, 2013

Curhat De: Benang Merah...

10:34:00 PM 0 Comments

"Apakah tidak cukup cinta saja sebagai pondasi pernikahan?"

Salah satu dialog dalam Film Test Pack terus terngiang di telinga saya. Banyak orang menikah karena saling mencintai. Kemudian di perjalanannya cinta itu pudar atau bercabang, tidak lama berpisah dengan alasan "sudah tidak ada kecocokan". Lantas jika saya tidak memilih menikah karena adanya rasa saling mencintai, alasan apa yang saya pilih untuk menikah?

Dulu, saya mendambakan pangeran berkuda putih (dalam kasus saya pangeran bersepedah ontel) datang menawarkan kehidupan happy ending seperti dalam dongeng-dongeng cinderella. Tapi seiring berjalannya waktu, menyaksikan orang-orang di sekitar saya menikah dan kemudian setelah itu banyak terjadi konflik, saya sadar ini bukan pernikahan cinderella. Sayangnya dongeng-dongeng yang ada hanya bercerita sampai pangeran menikah dengan cinderella dan di tutup dengan kalimat "akhirnya mereka pun hidup bahagia bersama, selama-lamanya".

Seiring waktu, konsep menikah dalam kepala saya mengalami perubahan. Dari sosok pangeran, kekasih hati, pendamping hidup, dan sekarang berada pada titik teman seperjuangan.

Menikah dalam konsep berpikir saya saat ini bukan semata karena tuntutan sosial. Pada alur (normal masyarakat) seseorang hidup, sekolah, kuliah, lulus, kerja, kemudian menikah, punya anak, punya cucu, dan seterusnya sampai menunggu adanya panggilan dari-Nya. Tapi toh orang-orang tidak selalu memiliki arus yang sama.

Jadi, kembali saya bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa kamu ingin menikah?

Satu persatu jawaban masa lalu muncul. Tapi buru-buru saya koreksi dan eliminasi beberapa. Sampai pada kesimpulan yang sudah ada sejak dulu, bahwa pernikahan saya adalah sebuah misi dakwah. Dulu konsep dakwah dalam pernikahan masih abstrak di kepala saya. Namun sekarang Insya Allah sudah jelas.

Mungkin saya bukan ustadzah yang pergi dari satu pengajian ke pengajian yang lain. Dakwah tidak hanya di masjid. Dalam konsep dakwah saya, dakwah adalah menyebarkan kebaikan sebagai agen Islam (yaitu agama yang Rahmatan lil alamin). Sebagian orang ada yang melakukan dakwah sebagai aktivis Islam, turun ke jalan, menjadi 'guru' di lembaga-lembaga islam dsb.

Dengan aktifitas yang saya miliki sekarang, kriteria pendamping hidup mengalami perkembangan dengan sendirinya. Dari pemuda soleh yang kelak bisa membawa menuju Jannah-Nya, kriteria yang saya harap berkembang menjadi:

1. Soleh, yang ini jelas sudah harga mati. Karena saya ingin suami yang tidak pernah berhenti mengajak saya untuk terus mencintai-Nya.

2. Bertanggung jawab dan pekerja keras. Rezeki sudah ada Allah yang mengatur. Namun hanya akan di jemput oleh orang yang memiliki tanggung jawab dan mau bekerja keras.

3. Memiliki jiwa sosial. Karena repot juga kalau suatu hari nanti saat saya mau pergi bakti sosial suami bilang "Ngapain sih kamu repot-repot ngurus orang. Di rumah ajah!" dan saya hanya duduk di sudut dapur sambil mengelap air mata dengan Lap >.

Well, menikah sama kayak OVJ harus ada benang merah dengan pasangan. Benang merah ini bukanlah kesamaan hobi, makanan kesukaan dsb. Tapi kesamaan Visi dan Misi. Karena kalau sekedar kelebihan dan kekurangan, justru hadirnya pasangan hidup adalah untuk melengkapi.

Jadi menikah bagi saya adalah menemukan partener dakwah. Dimana saya bisa suport dakhwahnya dan begitu pun sebaliknya. Kami bisa saling berbagi dan bertukar pendapat. Jadi sampai menemukan yang tepat, saya akan setia menunggu...^^

***
@Kamar_Buku13 September 2012/ 10:33 PM

Curhat De: Langkah...

10:32:00 PM 0 Comments


Hm... ini sudah tahun ke lima sepertinya saya melalang buana bersama Risma. Soulmate tercinta yang selalu setia menemani kemana saja. Namun perjuangan bersama Risma beberapa tahun ini terasa luar biasa. Kalau dulu Risma hanya mengantar saya kuliah, dan pergi ke berbagai seminar, belakangan Risma banyak berkontribusi dalam mengembangkan TBM yang sedang kami bangun.

Sesekali sempat mengeluh juga harus berduaan dengan Risma di jalanan yang tidak bersahabat. Kadang panas terik luar biasa, kadang harus kuyup karena kehujanan. Kadang saya pun berandai pula punya mobil, tapi biasanya saya buru-buru tepis keinginan itu. Karena saya suka mabok kalau naik mobil :D

Rabu (19/9/2012) saat pulang dari kampus menuju Rumah Cahaya FLP Depok, saya berpapasan dengan mobil Suzuki APV berwarna hitam. Bukan mobilnya yang membuat saya memperhatikan. Tapi karena di mobil tersebut di pasangi sticker "MOBIL OPERASIONAL TAMAN BACAAN MASYARAKAT KOMUNITAS *****". Beberapa waktu lalu saya sharing dengan teman mengenai TBM yang di kelola oleh pemerintah ini. Menurut teman saya, TBM tersebut tidak terlalu produktif. Melihat mobil tersebut saya jadi berpikir "Enak bener bisa punya mobil operasional."

Sekarang ini aktifitas TBM lumayan banyak. Disaat kami pergi bersama, kendaraan merupakan masalah utama kami. Karena tidak mungkin semua harus saya ajak bersama naik Risma. Alternatif yang kami ambil biasanya dengan rental mobil. Tapi biayanya gak murah :(

Kebutuhan kendaraan operasional ini pun saya rasakan perlu ketika ada hal-hal yang harus dibeli. Seperti misalnya saat saya dan Mba Galuh harus ke Asemka membeli perlengkapan sekolah untuk anak-anak korban kebakaran. Naik Risma pegel luar biasa. Dan kami pun memilih naik kereta. Tapi rupanya membeli paket buku tulis untuk 300 anak bukan sesuatu yang ringan. Ahad (16/09/2012) pikiran kami di kaburkan entah karena apa. Harusnya kami membeli buku untuk 300 anak, baru kebeli untuk 40 anak. Itupun sudah luar biasa berat membawanya. Harus jalan dari asemka menuju stasiun kota dengan membawa 24 pak buku.

Tapi bukan kehidupan jika tidak ada hikmahnya. Di dalam kereta saya merasa ada yang aneh, lalu saya ajak mba galuh untuk menghitung ulang. Ternyata benar kami kurang membeli buku. satu anak targetnya adalah 5 buku x 300 anak = 1500buku. Satu pak isinya 10, artinya kami harusnya membeli 150 pak bukan 24 pak.

Dan disinilah hikmahnya. Kalau kita ingat untuk beli 150 pak, PR nya tambah banyak. Pertama bagaimana cara membawanya, dan kedua bagaimana harus membayarnya. Karena dana nya juga tidak cukup.

hikmah lainnya adalah, saat saya sedang asyik menghitung bersama mba galuh ada orang yang bertanya perihal belanjaan di depan kami. Kami jelaskan ini untuk bantuan kemanusiaan. Dan saat kami turun dari kereta, seorang mba-mba menitipkan amanah Rp 50.000,- melalui saya. Allah Akbar!!

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustai?

Kembali ke cerita mobil operasioanal, sesampainya saya di Rumah Cahaya saya cerita kepada mba Galuh.

"Tau gak pit. Di jaman Rasul dulu ada seorang buta yang bertanya kepada Rasulullah. Ya Rasulullah, aku ini buta. Sangat sulit bagiku untuk datang ke masjid dan shalat berjamaah. Bolehkah aku solat di rumah saja. Kemudian di jawab oleh Rasulullah, Sesungguhnya dalam setiap kesulitan yang kau temui saat berangkat menuju masjid akan dihitung pahala bagimu. Maka orang buta itu pun memutuskan solat berjamaah di masjid. Tapi suatu hari ada pemuda yang berbaik hati menawarkan untuk menggendong seorang buta tersebut ke masjid. Setiap hari pemuda itu menggendong orang buta itu menuju masjid. Sampai akhirnya di tanyakan siapakah seseungguhnya kau anak muda?. Pemuda itu terdiam, tapi berkali-kali di tanya akhirnya pemuda itu menjawab, sebetulnya aku adalah iblis. Aku membantumu karena tidak rela melihat kau lebih banyak mendapatkan pahala saat berjalan menuju masjid untuk shalat berjamaah."

Saya terdiam sejenak mencerna kisah yang kata mba Galuh Sahih tersebut. Tidaklah selamanya kemudahan itu baik bagimu. Dan tidaklah selamanya kesulitan itu buruk bagimu. Saya seringkali lupa, bahwa bukan hasil akhir yang di nilai oleh Allah. Tapi merupakan proses lah bagaimana kita bisa terus istiqomah.

***
@Kamar_Buku
21 September 2012
08:09 AM

Curhat De: Selamat Menempuh Hidup Baru...

10:30:00 PM 0 Comments




Pagi ini kuucapkan “Selamat Menempuh Hidup Baru” pada diriku sendiri. Bukan lantaran aku telah melepas status sebagai anak kemudian berganti menjadi seorang istri, atau bahkan yang lebih mengerikan aku telah bangun dari kematian sementara.

Hari ini hari rabu. Tetapi rabu yang berbeda dengan rabu-rabu yang lalu. Sekarang pukul 07:44 WIB (saat aku menulis ini), tapi tentu saja pukul 07:44 WIB hari ini berbeda dengan 07:44 yang kemarin, kemarin lusa, seminggu lalu, sebulan, atau setahun lalu. Terima kasih pada sebuah peristiwa yang mengajarkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari yang berbeda dari hari lalu, sehingga aku harus selalu mengucapkan “Selamat Menempuh Hidup Baru” pada diriku setiap harinya.


Kemarin aku boleh menangis pada suatu hal. Kemarin pula aku boleh tertawa karena suatu hal. Maka hari ini aku harus menorehkan sejarah baru agar setiap hari aku menempuh kehidupan yang baru. Yah kalau kata mutiaranya sih “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Atau kalau kata hadist-nya merugilah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin. Kemarin aku tersudut dan menangis, hari ini aku harus bahagia.


Baru kemarin aku menegarkan seorang sahabat saat dia sedang tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hatinya. Ku katakana padanya, bisa jadi ini adalah cara Allah mempertanyakan istiqomah dari keikhlasan itu. Kalau kerikil secuil itu saja sudah meruntuhkan idealismenya untuk terus memperjuangkan kemaslahatan umat, bagaimana dengan tantangan yang lebih besar.


Nyatanya sekarang aku juga tengah tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hati. Satu yang aku takutkan dalam melakukan langkah ku saat ini , bahwa semua ini hanya egoisku saja. Atau jangan-jangan semua ini adalah awal kesia-siaan.


Aku ingat saat duduk di bangku sekolah, ketika semua orang menghapal rumus matematika, aku mencoba menjawab soal dengan caraku sendiri. Entahlah, benar atau tidak jawabannya aku hanya mencoba menyelesaikan dengan caraku sendiri.


Mungkin aku terlahir di jaman dan tempat yang tidak sejalan dengan cara berpikirku. Hanya ada dua pilihan. Mengikuti “Mau Mereka”, atau mengikuti “Mauku” atau dengan kata lain “Kata Hatiku”.


Aku memilih yang kedua, dan bukan tanpa tantangan aku menjalaninya. Tekanan demi tekanan tentang cara “nyelenehku” dalam mengisi kehidupan ini terus berdatangan.


Aku punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap hidupku sendiri. Sebagai individu aku adalah makhluk tunggal yang punya tanggung jawab terhadap napas, jiwa, dan raga yang di beri Allah padaku. Dulu aku diam saja kehidupanku di arahkan dan di atur. Tapi sekarang aku ingin punya keputusan sendiri dalam hidupku.


Bukan kamu, dia, mereka atau siapapun yang akan ditanya tentang apa yang kulakukan di akhirat kelak bukan? Dan Insya Allah kalaupun di tanya sepertinya bukan seputar “Sudahkah kamu menikahkan anakmu/sahabatmu sebelum di labeli perawan tua oleh masyarakat?” atau “Sudahkah anakmu/sahabatmu menggunakan toga sebelum di labeli oleh universitas sebagai mahasiswa abadi?”


Setidaknya mungkin yang akan mereka tanyakan kepada kamu, dia, mereka adalah “Sudahkah kamu nikahkan anakmu kepada suami/istri yang baik agamanya?” atau “Sudahkah anakmu dibekali ilmu agama?” atau “Sudahkah kamu memastikan anak/sahabatmu/suami/istrimu tidak melakukan hal-hal yang melanggar perintah Allah?” atau “Sudahkah kamu mengingatkan anak/sahabatmu/suami/istrimu ketika dia telah keluar dari jalan Islam?” Entah benar atau tidak tapi yang aku yakini demikian.


Dalam hidup ini hanya ada dua kemungkinan, gagal atau sukses. Keduanya sama pentingnya bagiku. Kalau kamu sukses dan bertambah syukurku maka itu yang aku rasa Dia inginkan. Kalaupun gagal dan paham pula apa hikmah dari semuanya, maka itu juga yang aku rasa Dia inginkan. Gagal setelah mencoba, itu setidaknya baik untukku. Karena aku tidak ingin menjadi orang yang telah tersedia taxi di depan pintu untuk membawaku pergi mengejar apa yang aku cita-citakan tapi kemudian aku hanya berdiri di depan pintu sambil melihat supir taxi yang kesal pergi berlalu. Kemudian di masa tua saat orang-orang yang mengutuki cita-citaku sudah tidak lagi di sampingku, aku hanya duduk sendiri dan menyesali masa lalu. Di usiaku sekarang ini sudah terlalu banyak yang kusesali, dan aku tidak mau ada penyesalan lain yang menyusul kemudian.


Selamat menempuh hidup baru.Hari ini di dalam hati terdapat jiwa yang baru. Satu yang hanya perlu kau harapkan, yaitu menggapai Ridho-Nya. Maka semua itu telah tercukupkan bagimu.

Curhat De: Dear Mama...

6:41:00 PM 0 Comments




Mama... Mungkin suatu hari nanti saya akan melihat teman-teman saya mengendarai mobil mewah, sementara saya hanya punya mobil sederhana yang cukup nyaman untuk kita pakai sekeluarga dan bermanfaat untuk umat...

Mama... Mungkin suatu hari nanti saya akan melihat teman-teman saya punya rumah mewah dengan pagar tinggi, sementara saya hanya punya rumah sederhana yang dipenuhi dengan buku yang pintunya selalu terbuka lebar untuk siapa saja...

Mama... Mungkin suatu hari nanti saya akan melihat teman-teman saya di panggil "BOS", semantara saya hanya menyandang panggilan "Kak Pita" dari celoteh anak-anak dengan wajah sumringah mereka...

Suatu hari jika saya melihat itu semua, saya hanya ingin tersenyum dan mensyukuri jalan hidup yang berhasil saya wujudkan atas ridhomu. Bukan emas permata yang ingin saya cari dalam hidup ini, tapi sungguh kebahagiaan atas apa yang telah saya berikan kepada orang lain.

Mama... bukanlah dengan menjadi pegawai hidup saya akan terjamin. Tapi dengan mendekat pada-Nya lah akan terjamin diri saya ini. Saya sudah menerima banyak dari-Nya, saya balas dengan memberi kepada orang lain. Memberi yang tidak banyak, tapi sungguh kembali dibalas oleh-Nya dengan sesuatu yang luar biasa.

Mama... Jika suatu hari tetangga atau sanak keluarga berkata ini dan itu bermaksud mempengaruhimu, cukup beri senyummu. Senyum yang mengandung arti "Saya bangga terhadap anak saya. Dia dapat dipercaya, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya."

Mama... Bukan tetangga atau siapapun yang membuat saya memilih jalan hidup ini. Tapi karena jelas di hadapan saya, Bapak memberi contoh dengan banyak memberi. Tidak mampu dengan materi, tapi dengan tenaga dan pikiran. Darah itulah yang mengalir ditubuh saya. Semangat itu juga yang mengalir di tubuh saya.


Mama... aku selalu...selalu...dan selalu ingin membuatmu bangga akan diri ini. Tapi izinkan saya membuatmu bangga dengan cara saya sendiri <3<3<3

Curhat De: Filosofi Nyamuk...

6:22:00 PM 0 Comments





Malam kemarin saya duduk-duduk bersama Emak dan Babe. Kalau sedang tidak ada yang dikerjakan, kami biasa duduk santai di teras rumah. Kalau tidak pagi hari, biasanya sore atau malam, pokoknya kapanpun kami bisa menyempatkan diri berkumpul bersama. Biasanya diantara obrolan kami selalu tersedia minuman dengan uap mengepul. Bisa kopi, teh atau terkadang sedikit istimewa minuman hasil 'chef' amatiran rumah kami.

Ada banyak hal yang bisa kami bicarakan. Terkadang tentang masa lalu, tentang cerita muda Emak atau Babe. Atau sesekali membicarakan masa depan, biasanya ini tentang anak-anak Emak dan Babe. Tentang aktifitas keseharian kami, tentang cerita lucu atau jengkel atau tentang apapun. Bahkan kami sering membicarakan tentang politik, sok berkomentar ala politikus. Tapi semua itu hanya pelengkap kebersamaan kami.

Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Babe menjerit mengagetkan kami semua. Ternyata penyebabnya adalah gigitan nyamuk pada betisnya. Entahlah, saya rasa sekuat apapun gigitan nyamuk rasanya tidak akan menghasilkan jeritan sekeras itu. Entah karena suara Babe yang pada dasarnya keras, atau karena rasa kaget, atau mungkin terlalu lebay ajah (ketiganya menurun kuat pada darah saya :D).

Selang sedetik setelah menjerit dan meronta (entah bagaimana menemukan bahasa yang tepat menggambarkannya :D) Babe berdiri dan berusaha menginjak sesuatu. 'Crooot' (maaf hanya efek untuk mendramatisir :D), terjadi pertumpahan darah di atas lantai. Nyamuk yang tadi berjuang mencari bertahan hidup kini telah tergilas dengan berlumuran darah hasil buruannya. Dengan rasa puas Babe kemudian kembali duduk."Kamu lihat tuh? Nyamuk barusan?"

"Iya, lihat. Kenapa emangnya Beh? Banyak juga dia nyedot darahnya." Kataku

"Iya, habis dia nyedot kebanyakan terbangnya jadi lambat dan gak bisa tinggi. Jadinya lebih gampang di tangkep. Itu koruptor yang ketangkep sama kayak nyamuk ini. Yang di korup kebanyakan, jadinya susah kabur."

Hm... ini bagian yang saya suka. Babe suka berfilosofi dengan apa yang ditemukannya. Itu juga yang menurun dalam darah saya. Maka siap-siap saya betulkan posisi duduk, biar tambah nyaman mendengarkan kelanjutannya.

"Nyamuk itu seperti parasit, hidup dengan meminum darah manusia. Sudah fitrahnya demikian, makanya gak bisa kita salahkan. Tapi jadi masalah kalau dia nyedotnya kebanyakan. Begitu juga manusia hidup untuk memenuhi hajat hidupnya. Tapi manusia punya akal, punya nurani dan terlebih punya banyak pilihan. Bahkan dalam pilihan terbaik saja seringkali kita sering "korupsi" kecil-kecilan. Entah itu korupsi waktu, ataupun dengan menerima yang tidak menjadi hak kita. Makanya kita harus hati-hati dalam melangkah."

Uap kopi dalam cangkir kami mengepul menghilang seiring detik saat kami merenung meresapi kata-kata Babe. Selalu hening setiap Babe telah usai berfilosofi, tapi ada yang ramai di sini (kepala) dan sini (hati).

@Kamar_Buku
Jum'at, 29 Maret 2013
08:18:08 WIB